Bismillahirrohmanirrohim
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jiwa. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah serta menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabisat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.
Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Alghazaali membagi jiwa menjadi tiga, yaitu : Jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang), dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang oranis dari segi makan, tumbuh, dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya fikir (Al-Nafs-Al-Nathiqah)
Daya jiwa yang berfikir (Al-Nafs-Al-Nathiqah atau Al-Nafs-Al-Insaniyah) inilah menurut para filsuf dan sufi yang merupakan hakikat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakikat tersebut, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, Dzatnya, dan Penciptanya.
Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa hewani dan nabati, maka jiwa (nafs) manusia menjadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beranekaragam sesuai dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat
Penjelasan tentang ketiga jiwa itu hikmah nya kita petik dari 3 ulama besar yaitu Alfarabi, ibnu sina, Al ghazali.. Namun ada penjelasan yg lain lagi fii kitab Alqur'anil karim yaitu
Nafsi berbahasa arab sedangkan nafsu berbahasa pasaran nya, sedangkan Kata Nafsi terjemahan nya ialah jiwa. Adapun nafsu secara terminologis ilmu tasawwuf akhlaq, nafsu adalah dorongan-dorongan alamiah manusia yang mendorong pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Adapun pengertian hawa nafsu adalah sesuatu yang disenangi oleh jiwa kita yang cenderung negatif baik bersifat jasmani maupun nafsu yang bersifat maknawi. Nafsu yang bersifat jasmani yaitu sesuatu yang berkaitan dengan tubuh kita seperti makanan, minum, dan kebutuhan biologis lainnya, Nafsu yang bersifat maknawi yaitu, nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan rohani seperti, nafsu ingin diperhatikan orang lain, ingin dianggap sebagai orang yang paling penting, paling pinter, paling berperan, paling hebat, nafsu ingin disanjung dan lain-lain.Hawa nafsu inilah yang mengakibatkan pengaruh buruk / negatif bagi manusia
Dari segi tahapan nafsu terbagi menjadi tiga bagian yaitu :
1. Nafsu amarah ( La'ammaarah)
Yaitu jiwa yang masih cenderung kepada kesenangan-kesenangan yang rendah, yaitu kesenangan yang bersifat duniawi. Nafsu ini berada pada tahap pertama yang tergolong sangat rendah, karena yang memiliki nafsu ini masih cenderung kepada perbuatan-perbuatan yang maksiat. Secara alami nafsu amarah cenderung kepada hal-hal yang tidak baik. Bahkan, karena kebiasaan berbuat keburukan tersebut, bila mana dia tidak melakukannya, maka dia akan merasa gelisah, sakau dan gundah gulana.
Allah SWT berfirman dalam al-qur’an
Artinya: Sesungguhnya nafsu itu suka mengajak ke jalan kejelekan, kecuali (nafsu) seseorang yang mendapatkan rahmat Tuhanku (QS. Yusuf : 53).
2. Nafsu Lawwamah
Yaitu jiwa yang sudah sadar dan mampu melihat kekurangan-kekurangan diri sendiri, dengan kesadaran itu ia terdorong untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan rendah dan selalu berupaya melakukan sesuatu yang mengantarkan kebahagian yang bernilai tinggi.
Ustadz Arifin ilham pernah mengatakan , bahwa orang yang masih memiliki nafsu lawammah ini biasanya disaat ia melakukan maksiat/dosa maka akan timbul penyesalan dalam dirinya, namun dalam kesempatan lain ia akan mengulangi maksiat tersebut yang juga akan diiringi dengan penyesalan-penyesalan kembali. Selain itu ia juga menyesal kenapa ia tidak dapat berbuat kebaikan lebih banyak Nafsu ini tergolong pada tahap kedua, nafsu ini disinyalir Al-Qur’an :
Artinya : Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (QS. Al- Qiyamaah : 2).
3. Nafsu Mutmainnah
Yakni jiwa tenang, tentram, karena nafsu ini tergolong tahap tertinggi, nafsu yang sempurna berada dalam kebenaran dan kebajikan, itulah nafsu yang dipanggil dan dirahmati oleh Allah SWT, Sebagaimana firman-Nya:
Artinya : Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. (QS. Al - Fajr : 27-28).
Dalam ayat lain Allah menghiburnya yaitu :
Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. (QS. Asy – Syams : 9).
Nah menurut naskah skrip kuno yg tersimpan dikediaman turun temurun anak cucu Raden Said atau sunan kalijogo, ketika beliau ingin belajar kepada sunan bonang untuk lebih memiliki jiwa yg bersih maka nasehat sunan bonang ialah :
jumeneng nyawa ingsun nafsul mutmainnah makhrifatullah
Untuk mencapai tingakatan iman yang lebih tinggi, harus membuang nafsu yang membawa kita ke perbuatan dosa.
Nah itu kata sunan bonang salah satu sepuh nya wali, kalau kita mau mendengar nya, maka kita lanjutkan dengan pengetahuan kita tadi diantara 3 nafsu yg tertara didalam kitab suci Alqur'an bahwa : yg didalam diri manusia ada 3 nafsu pertama nafsu La'ammaraah, kedua nafsu lawammah, ketiga nafsu mutmainnah
Sekarang tentang nafsi atau jiwa itu kan sudah dapat kita kenali yg ada didalam diri kita, maka saat nya kita dengar ucapan sunan bonang tadi yaitu :
Untuk mencapai tingkatan iman yang lebih tinggi, harus membuang nafsu yang membawa kita ke perbuatan dosa
Untuk mencapai tingkatan iman yg lebih tinggi, nah kalau kita kaji kata iman, bukan main bahwa untuk memiliki suatu keimanan tadi kita harus bertawaqal yaitu Ta'at dalam menjalan kan perintah Allah SWT dan meninggalkan apa yg dilarang Nya
Untuk mencapai IMAN yang lebih TINGGI, dari kata tinggi yg ana besari itu mengandung suatu nilai yg lebih dari cukup, sementara kita dapat memahami apa itu tinggi bukan, berarti IMAN yang lebih Tinggi itu ialah suatu puncak maqom ualiyai wal mursalin
Lantas bagai mana cara nya menjadi auliyai wal mursalin ( orang yg dapat memimpin diri nya dan terpilih)
Kembali lagi kita lihat wejangan ulama besar tersebut : Untuk mencapai tingkatan iman yang lebih tinggi, harus membuang nafsu yang membawa kita ke perbuatan dosa
Harus membuang nafsu yg membawa kita ke perbuatan dosa,
pertanyaan : nafsu apa ya itu?? Jawaban : Nafsi Laa'ammaraah
Nah sekarang kita sudah tahu nafsu apa yg aka kita buang yaitu, :
Nafsu amarah ( La'ammaarah)
Yaitu jiwa yang masih cenderung kepada kesenangan-kesenangan yang rendah, yaitu kesenangan yang bersifat duniawi. Nafsu ini berada pada tahap pertama yang tergolong sangat rendah, karena yang memiliki nafsu ini masih cenderung kepada perbuatan-perbuatan yang maksiat. Secara alami nafsu amarah cenderung kepada hal-hal yang tidak baik. Bahkan, karena kebiasaan berbuat keburukan tersebut, bila mana dia tidak melakukannya, maka dia akan merasa gelisah, sakau dan gundah gulana.
Allah SWT berfirman dalam al-qur’an
Artinya: Sesungguhnya nafsu itu suka mengajak ke jalan kejelekan, kecuali (nafsu) seseorang yang mendapatkan rahmat Tuhanku (QS. Yusuf : 53).
Perjalanan :
Setelah kita mau untuk mengajak diri kita sendiri untuk membuang jauh2 nafsu la'ammaarah tersebut, maka selang silih berganti nafsu tersebut otomatis akan hilang berganti menjadi nafsi Lawwamah
Apa itu nafsi lawwamah tersebut??
Yaitu jiwa yang sudah sadar dan mampu melihat kekurangan-kekurangan diri sendiri, dengan kesadaran itu ia terdorong untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan rendah dan selalu berupaya melakukan sesuatu yang mengantarkan kebahagian yang bernilai tinggi.
Ustadz Arifin ilham pernah mengatakan , bahwa orang yang masih memiliki nafsu lawammah ini biasanya disaat ia melakukan maksiat/dosa maka akan timbul penyesalan dalam dirinya, namun dalam kesempatan lain ia akan mengulangi maksiat tersebut yang juga akan diiringi dengan penyesalan-penyesalan kembali. Selain itu ia juga menyesal kenapa ia tidak dapat berbuat kebaikan lebih banyak Nafsu ini tergolong pada tahap kedua, nafsu ini disinyalir Al-Qur’an :
Artinya : Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (QS. Al- Qiyamaah : 2).
Perjalanan :
Tentu saja usaha tersebut membuah kan hasil pertikaian didalam diri sendiri ( perang fiisabilillah/ perang melawan hawa nafsu yg ada pada diri sendiri) yg jika hasil nya kita kalah maka kalau ga balik ke nafsu la'ammaarah maka tetap bertahan di nafsu lawwamah,
Akan tetapi jika kita memiliki keinginan yang kuat serta izin Allah SWT maka nafsi yg ada didalam diri kita naik ketingkat iman yg tinggi sehingga kembali menjadi haqiqi nya ketika nafsi itu ditanya Allah SWT :
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
(Al-'A`rāf):172
Yaitu nafsi mutmainnah yang dengan modal itu maka suatu insan dapat bermakhrifatullah
Jumeneng nyawa ingsun
Nafsul mutmainnah makhrifatullah
Tidak sulit bukan? tinggal kita nya apa kah mau dan berkeinginan kuat buat menjalan kan dasar tasawuf ini
Barokallah
Dikutip dari Grup Bbm Anggota Inti Majelis Alam Bashiroh
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jiwa. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah serta menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabisat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.
Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Alghazaali membagi jiwa menjadi tiga, yaitu : Jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang), dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang oranis dari segi makan, tumbuh, dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya fikir (Al-Nafs-Al-Nathiqah)
Daya jiwa yang berfikir (Al-Nafs-Al-Nathiqah atau Al-Nafs-Al-Insaniyah) inilah menurut para filsuf dan sufi yang merupakan hakikat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakikat tersebut, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, Dzatnya, dan Penciptanya.
Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa hewani dan nabati, maka jiwa (nafs) manusia menjadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beranekaragam sesuai dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat
Penjelasan tentang ketiga jiwa itu hikmah nya kita petik dari 3 ulama besar yaitu Alfarabi, ibnu sina, Al ghazali.. Namun ada penjelasan yg lain lagi fii kitab Alqur'anil karim yaitu
Nafsi berbahasa arab sedangkan nafsu berbahasa pasaran nya, sedangkan Kata Nafsi terjemahan nya ialah jiwa. Adapun nafsu secara terminologis ilmu tasawwuf akhlaq, nafsu adalah dorongan-dorongan alamiah manusia yang mendorong pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Adapun pengertian hawa nafsu adalah sesuatu yang disenangi oleh jiwa kita yang cenderung negatif baik bersifat jasmani maupun nafsu yang bersifat maknawi. Nafsu yang bersifat jasmani yaitu sesuatu yang berkaitan dengan tubuh kita seperti makanan, minum, dan kebutuhan biologis lainnya, Nafsu yang bersifat maknawi yaitu, nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan rohani seperti, nafsu ingin diperhatikan orang lain, ingin dianggap sebagai orang yang paling penting, paling pinter, paling berperan, paling hebat, nafsu ingin disanjung dan lain-lain.Hawa nafsu inilah yang mengakibatkan pengaruh buruk / negatif bagi manusia
Dari segi tahapan nafsu terbagi menjadi tiga bagian yaitu :
1. Nafsu amarah ( La'ammaarah)
Yaitu jiwa yang masih cenderung kepada kesenangan-kesenangan yang rendah, yaitu kesenangan yang bersifat duniawi. Nafsu ini berada pada tahap pertama yang tergolong sangat rendah, karena yang memiliki nafsu ini masih cenderung kepada perbuatan-perbuatan yang maksiat. Secara alami nafsu amarah cenderung kepada hal-hal yang tidak baik. Bahkan, karena kebiasaan berbuat keburukan tersebut, bila mana dia tidak melakukannya, maka dia akan merasa gelisah, sakau dan gundah gulana.
Allah SWT berfirman dalam al-qur’an
Artinya: Sesungguhnya nafsu itu suka mengajak ke jalan kejelekan, kecuali (nafsu) seseorang yang mendapatkan rahmat Tuhanku (QS. Yusuf : 53).
2. Nafsu Lawwamah
Yaitu jiwa yang sudah sadar dan mampu melihat kekurangan-kekurangan diri sendiri, dengan kesadaran itu ia terdorong untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan rendah dan selalu berupaya melakukan sesuatu yang mengantarkan kebahagian yang bernilai tinggi.
Ustadz Arifin ilham pernah mengatakan , bahwa orang yang masih memiliki nafsu lawammah ini biasanya disaat ia melakukan maksiat/dosa maka akan timbul penyesalan dalam dirinya, namun dalam kesempatan lain ia akan mengulangi maksiat tersebut yang juga akan diiringi dengan penyesalan-penyesalan kembali. Selain itu ia juga menyesal kenapa ia tidak dapat berbuat kebaikan lebih banyak Nafsu ini tergolong pada tahap kedua, nafsu ini disinyalir Al-Qur’an :
Artinya : Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (QS. Al- Qiyamaah : 2).
3. Nafsu Mutmainnah
Yakni jiwa tenang, tentram, karena nafsu ini tergolong tahap tertinggi, nafsu yang sempurna berada dalam kebenaran dan kebajikan, itulah nafsu yang dipanggil dan dirahmati oleh Allah SWT, Sebagaimana firman-Nya:
Artinya : Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. (QS. Al - Fajr : 27-28).
Dalam ayat lain Allah menghiburnya yaitu :
Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. (QS. Asy – Syams : 9).
Nah menurut naskah skrip kuno yg tersimpan dikediaman turun temurun anak cucu Raden Said atau sunan kalijogo, ketika beliau ingin belajar kepada sunan bonang untuk lebih memiliki jiwa yg bersih maka nasehat sunan bonang ialah :
jumeneng nyawa ingsun nafsul mutmainnah makhrifatullah
Untuk mencapai tingakatan iman yang lebih tinggi, harus membuang nafsu yang membawa kita ke perbuatan dosa.
Nah itu kata sunan bonang salah satu sepuh nya wali, kalau kita mau mendengar nya, maka kita lanjutkan dengan pengetahuan kita tadi diantara 3 nafsu yg tertara didalam kitab suci Alqur'an bahwa : yg didalam diri manusia ada 3 nafsu pertama nafsu La'ammaraah, kedua nafsu lawammah, ketiga nafsu mutmainnah
Sekarang tentang nafsi atau jiwa itu kan sudah dapat kita kenali yg ada didalam diri kita, maka saat nya kita dengar ucapan sunan bonang tadi yaitu :
Untuk mencapai tingkatan iman yang lebih tinggi, harus membuang nafsu yang membawa kita ke perbuatan dosa
Untuk mencapai tingkatan iman yg lebih tinggi, nah kalau kita kaji kata iman, bukan main bahwa untuk memiliki suatu keimanan tadi kita harus bertawaqal yaitu Ta'at dalam menjalan kan perintah Allah SWT dan meninggalkan apa yg dilarang Nya
Untuk mencapai IMAN yang lebih TINGGI, dari kata tinggi yg ana besari itu mengandung suatu nilai yg lebih dari cukup, sementara kita dapat memahami apa itu tinggi bukan, berarti IMAN yang lebih Tinggi itu ialah suatu puncak maqom ualiyai wal mursalin
Lantas bagai mana cara nya menjadi auliyai wal mursalin ( orang yg dapat memimpin diri nya dan terpilih)
Kembali lagi kita lihat wejangan ulama besar tersebut : Untuk mencapai tingkatan iman yang lebih tinggi, harus membuang nafsu yang membawa kita ke perbuatan dosa
Harus membuang nafsu yg membawa kita ke perbuatan dosa,
pertanyaan : nafsu apa ya itu?? Jawaban : Nafsi Laa'ammaraah
Nah sekarang kita sudah tahu nafsu apa yg aka kita buang yaitu, :
Nafsu amarah ( La'ammaarah)
Yaitu jiwa yang masih cenderung kepada kesenangan-kesenangan yang rendah, yaitu kesenangan yang bersifat duniawi. Nafsu ini berada pada tahap pertama yang tergolong sangat rendah, karena yang memiliki nafsu ini masih cenderung kepada perbuatan-perbuatan yang maksiat. Secara alami nafsu amarah cenderung kepada hal-hal yang tidak baik. Bahkan, karena kebiasaan berbuat keburukan tersebut, bila mana dia tidak melakukannya, maka dia akan merasa gelisah, sakau dan gundah gulana.
Allah SWT berfirman dalam al-qur’an
Artinya: Sesungguhnya nafsu itu suka mengajak ke jalan kejelekan, kecuali (nafsu) seseorang yang mendapatkan rahmat Tuhanku (QS. Yusuf : 53).
Perjalanan :
Setelah kita mau untuk mengajak diri kita sendiri untuk membuang jauh2 nafsu la'ammaarah tersebut, maka selang silih berganti nafsu tersebut otomatis akan hilang berganti menjadi nafsi Lawwamah
Apa itu nafsi lawwamah tersebut??
Yaitu jiwa yang sudah sadar dan mampu melihat kekurangan-kekurangan diri sendiri, dengan kesadaran itu ia terdorong untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan rendah dan selalu berupaya melakukan sesuatu yang mengantarkan kebahagian yang bernilai tinggi.
Ustadz Arifin ilham pernah mengatakan , bahwa orang yang masih memiliki nafsu lawammah ini biasanya disaat ia melakukan maksiat/dosa maka akan timbul penyesalan dalam dirinya, namun dalam kesempatan lain ia akan mengulangi maksiat tersebut yang juga akan diiringi dengan penyesalan-penyesalan kembali. Selain itu ia juga menyesal kenapa ia tidak dapat berbuat kebaikan lebih banyak Nafsu ini tergolong pada tahap kedua, nafsu ini disinyalir Al-Qur’an :
Artinya : Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (QS. Al- Qiyamaah : 2).
Perjalanan :
Tentu saja usaha tersebut membuah kan hasil pertikaian didalam diri sendiri ( perang fiisabilillah/ perang melawan hawa nafsu yg ada pada diri sendiri) yg jika hasil nya kita kalah maka kalau ga balik ke nafsu la'ammaarah maka tetap bertahan di nafsu lawwamah,
Akan tetapi jika kita memiliki keinginan yang kuat serta izin Allah SWT maka nafsi yg ada didalam diri kita naik ketingkat iman yg tinggi sehingga kembali menjadi haqiqi nya ketika nafsi itu ditanya Allah SWT :
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
(Al-'A`rāf):172
Yaitu nafsi mutmainnah yang dengan modal itu maka suatu insan dapat bermakhrifatullah
Jumeneng nyawa ingsun
Nafsul mutmainnah makhrifatullah
Tidak sulit bukan? tinggal kita nya apa kah mau dan berkeinginan kuat buat menjalan kan dasar tasawuf ini
Barokallah
Dikutip dari Grup Bbm Anggota Inti Majelis Alam Bashiroh
0 komentar:
Posting Komentar
Salamun 'alaik..
Bacalah basmalah sebelum memulai sesuatu