Habib Mundzir Al Musawa, Perjalanan Hidup guru Majelis Rasulullah
By al Bashiroh Channel12:28 AM1 comment
Pagi yang biasanya cerah kini telah berubah, langit kian buram nan suram diselimuti awan kelam. Tetesan air mulai menghujam membasahi aspalan hitam.
Laa ilaahaillah... Laa ilaahaillah... Laa ilaahaillah muhammadarrasulullah...
Kalimat tahlil kian menggetarkan hati, mengetuk benak-benak kecil umat manusia. Tanda tanya timbul di kepala, mencoba menerka goresan pena Sang Kuasa. Senin 16 September 2013 benar-benar menjadi hari lara, hari yang dijamah rasa duka. Ribuan retina menyorot tajam bagai anak panah yang terlepas dari busurnya menuju sebuah objek, berbinar dan berkaca-kaca melepas sosok insan yang terbaring dalam keranda. Dia telah pergi....Dunia telah bersaksi bahwa sosok pemberi peringatan kepada umat yang lurus jalannya nan tulus perjuangannya Al Habib Al Fadhil Mundzir bin Fuad AL Musawa,dai ilallah kelahiran Cipanas Cianjur Jawa Barat 19 Muharram 1939 H atau 23 Februari 1973 M itu telah pergi berpulang menuju pelukan Ar-Rahman
Latar belakang keluarga
Beliau adalah putra keempat dari lima bersaudara, buah hati dari pasangan Sayyid Fuad bin Abdurrahman Al Musawa dengan Sayyidah Rahmah binti Hasyim Al Musawa. Ayahanda beliau Sayyid Fuad bin Abdurrahman Al Musawa adalah salah seorang santri al'alim sayyid al-habib 'Alwi al-Maliki yang bergelar sarjana Newyork University. Lahir di Palembang dan bekerja sebagai warta berita harian "Berita Yudha" dan "Berita Buana" selama lebih kurang 40 tahun, beliau tutup usia pada tahun 1996 dan dikebumikan di Cipanas, Cianjur Jawa Barat.
Habib Mundzir merupakan sosok yang dimanja dan mendapat perhatian lebih dari ayahanda beliau dibandingkan dengan saudara lainnya. Namun pada kenyataannya, justru beliau yang mengalami putus sekolah. Beliau suka menghadiri Majelis Maulid Al Maghfur Al Arifbillah Al Habib Umar bin Hud Al Aththas dan Majelis Ta'lim Al'Alaamah Al-Habib Husein bin Abdullah bin Muhsin Al-Athos yang mengkaji kitab Fathul Baari.
Beliau adalah pecandu Rasulullah saw, pecinta al-Musthafa saw. Beliau senantiasa bershalawat 1000 kali disiang hari , 1000 kali dimalam hari. Berdzikir beribu-ribu kali dan melazimi puasa nabiyullah Daud As, mendirikan sholat malam berjam-jam lamanya. Namun satu hal yang membuat gundah hati beliau, yang tak lain tentang status beliau yang masih tuna karya dan itu sangat membuat kedua orangtua beliau sedih.
Rasa takut untuk mengecewakan kedua orangtua membuat beliau semakin larut dalam kegusaran, namun hal itulah yang terus memompa kerinduan terhadap sosok Rasulullah saw. Tak jarang pula dalam tangis Rasulullah hadir lewat alam mimpi untuk menghibur beliau. Hingga datang suatu mimpi dimana dalam mimpi itu beliau bersimpuh sambil memeluk lutut Rasulullah saw seraya berucap "Aku rindu kepadamu Yaa Rasulullah..jangan tinggalkan aku lagi, butakan kedua mataku asalkan aku bisa berjumpa denganmu...atau akhiri hidupku sekarang, aku tersiksa di dunia ini". Rasulullah pun menepuk bahu beliau sembaring berkata "Mundzir tenanglah, sebelum usiamu mencapai 40 tahun, engkau akan berjumpa denganku". Tak beberapa lama beliaupun terbangun dari mimpi.
Losmen
Setelah ayahanda beliau pensiun, ibunda beliau membagun sebuah losmen sederhana dengan 5 kamar di depan rumah untuk menopang nafkah keluarga. Al Habib Mundzirlah yang menjadi pelayan di losmen tersebut, mulai dari menjamu tamu, memasangkan seprei, menyapu kamar-kamar, membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan para tamu, baik berupa teh, kopi ataupun nasi goreng buatan ibunda beliau.
Sambil menunggu hadirnya para tamu, beliau mengisi malam-malam dengan mendirikan sholat malam atau duduk menagis termenung, bertafakkur dan berdzikir di atas kursi kecil dengan meja kotak layaknya pos satpam. Perjuangan beliau tak terhenti disitu saja, di siang hari di tengah sakit asma yang terus mencekik nafas, beliau masih berusaha berpuasa Daud.
Waktu pun berlalu, dedaunan mulai meranggas satu persatu meninggalkan rerantingan kering yang telah membatu. Begitu pula dengan kakak-kakak beliau yang telah bergelar sarjana satu demi satu. Terinspirasi oleh keadaan itu, niatan untuk menuntut ilmu mulai tumbuh subur bah jamur saat musim penghujan. Beliau wujudkan niatan tersebut dengan berguru di pesantren Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri Jakarta Selatan. Namun niat itu pupus hanya dengan kurun waktu dua bulan karna sakit asma. Kemudian beliau mengikuti kursus bahasa Arab LPBA Assalafy Jakarta Timur. Tak sampai disitu, beliau juga memperdalam lagi ilmu agama di Ma'had Al Khairat, Bekasi Timur. Puncaknya, beliau berangkat menuju Darul Mustafa, Tarim, Hadraumut, Yaman atas permintaan Al Habib Umar bin Hafidz. Di bawah irsyad sang maha guru beliau mendalami beberapa studi keilmuan seperti fiqh, tafsir, hadits, Tasawuf, metodologi dakwah dan lainnya selama lebih kurang empat tahun.
Permulaan dakwah
Empat tahun berlalu, kini di tahun 1998 beliau kembali ke Indonesia sebagai lulusan Darul Musthafa dan mulai menebar dakwah di Jakarta, dari rumah ke rumah. Mengajak umat untuk kembali dalam jalan yang lurus, mengajak mereka untuk mengenal dan mencintai Rasulullah saw. Menjadikan Rasulullah sebagai idola dan uswah ditiap lini kehidupan. Siang dan malam beliau gigih berdakwah. Tak jarang tertidur diluar rumah karna merasa sungkan untuk membangunkan pemilik rumah yang telah terlelap tidur bahkan beliau pernah tidur di emperan toko ketika mencari murid dan berdakwah. Belum lagi cemohan-cemohan yang menerpa wajah beliau, namun semua itu beliau tanggapi dengan kesabaran dan ketulusan.
Setelah berjalan kurang lebih enam bulan, beliau mulai membuka majelis setiap malam selasa. Hal itu beliau lakukan untuk mengikuti jejak Al Habib Umar bin Hafidz yang telah membuka Majelis mingguan setiap malam Selasa. Disamping itu, beliau juga memimpin Ma'had Assa'adah, yang telah diwakafkan oleh Al Habib Umar bin Hud Alattas di Cipayung selama setahun. Selebihnya, beliau tidak lagi meneruskan untuk memimpin ma'had tersebut dan lebih memilih untuk fokus berdakwah melalui majelis-majelis disekitar kota Jakarta.
Pasang surut dalam berdakwah
Pada awalnya, beliau menjadikan Fiqh dasar sebagai kajian utama di majlis malam Selasa miliknya, namun tampaknya hakl itu kurang diminati oleh para jamaah di majelis tersebut. Habib Munzir terus berfikir keras bagaimana masyarakat bisa hidup dalam kedamaian, meninggalkan kemungkaran dan mencintai sunnah Nabi saw. Akhirnya Habib Munzir merubah cara dan konten penyampaiannya, beliau tidak lagi membahas problematika Fiqih dengan segala kerumitannya, melainkan dengan mereframe ulang dakwah beliau dengan nasehat mulia dari Hadits-hadits Rasul saw dan ayat-ayat suci al-Qur'an tentang pembahasan amr ma'ruf nahi munkar dan beliau perindah penyampaian dakwah dengan balutan bahasa sastra yang dipadu dengan kelembutan dan arahan untuk tafakkur tentang penciptaan alam semesta, yang semua itu beliau arahkan agar masyarakat mampu menjadikan Rasul saw sebagai panutan hidup dalam segala hal. Alhasil, buah dari kesabaran beliau dalam berdakwah mulai nampak dengan semakin memadatnya jumlah jamaah sehingga beliau memindahkan majelis yang pada awalnya antar mushollah kini berganti menjadi majelis antar masjid secara bergantian. Kemudian beliau membuka majelis baru dihari lainnya, majelis malam selasa mulai ditetapkan di masjid al-Munawar. Saat itu jumlah jamaah masih seperempat masjid saja, beliaupun berkata "jamaah akan semakin banyak, nanti akan setengah masjid ini, lalu akan memenuhi masjid ini, lalu akan sampai keluar masjid insya Allah.." serentak para jamaah mengaminkan..perkataan beliau.
Akhir hayat beliau
Saat sedang berkumpul dan bercengkrama bersama keluarga di rumahnya, habib Munzir masuk kamar mandi sejak siang namun sampai sore hari beliau tak kunjung keluar. Kecemasan mulai melanda pihak keluarga, akhirnya didobraklah pintu kamar mandi dan didapati tubuh habib Munzir sudah tergeletak di lantai tidak sadarkan diri. Beliaupun dilarikan ke rumah sakit Cipto Mangunkusumo, namun satu jam kemudian para dokter menyatakan bahwa beliau telah tiada. Menurut penuturan kerabatnya, habib Munzir meninggal karena serangan jantung.
Habib Munzir dimakamkan di pemakaman umum Habib Kuncung di Kalibata, Jakarta pada hari Senin 16 September 2013 sekitar jam 13:00 WIB, setelah disholatkan di masjid Al-Munawwar Pancoran. Puluhan ribu umat muslim berbondong-bondong mengantarkan jenazah beliau dan menyaksikan prosesi pemakaman dengan takdim tak terkecuali guru beliau Al Habib Umar bin Hafidz beserta rombongan yang hadir saat itu.
Kini beliau telah pergi, tak ada lagi rangkaian kata indah dari beliau. Yang tersisa hanya kisah dan uswah beliau yang selalu terkenang di tiap benak kaum muslimin.
By al Bashiroh Channel12:28 AM1 comment
Pagi yang biasanya cerah kini telah berubah, langit kian buram nan suram diselimuti awan kelam. Tetesan air mulai menghujam membasahi aspalan hitam.
Laa ilaahaillah... Laa ilaahaillah... Laa ilaahaillah muhammadarrasulullah...
Kalimat tahlil kian menggetarkan hati, mengetuk benak-benak kecil umat manusia. Tanda tanya timbul di kepala, mencoba menerka goresan pena Sang Kuasa. Senin 16 September 2013 benar-benar menjadi hari lara, hari yang dijamah rasa duka. Ribuan retina menyorot tajam bagai anak panah yang terlepas dari busurnya menuju sebuah objek, berbinar dan berkaca-kaca melepas sosok insan yang terbaring dalam keranda. Dia telah pergi....Dunia telah bersaksi bahwa sosok pemberi peringatan kepada umat yang lurus jalannya nan tulus perjuangannya Al Habib Al Fadhil Mundzir bin Fuad AL Musawa,dai ilallah kelahiran Cipanas Cianjur Jawa Barat 19 Muharram 1939 H atau 23 Februari 1973 M itu telah pergi berpulang menuju pelukan Ar-Rahman
Latar belakang keluarga
Beliau adalah putra keempat dari lima bersaudara, buah hati dari pasangan Sayyid Fuad bin Abdurrahman Al Musawa dengan Sayyidah Rahmah binti Hasyim Al Musawa. Ayahanda beliau Sayyid Fuad bin Abdurrahman Al Musawa adalah salah seorang santri al'alim sayyid al-habib 'Alwi al-Maliki yang bergelar sarjana Newyork University. Lahir di Palembang dan bekerja sebagai warta berita harian "Berita Yudha" dan "Berita Buana" selama lebih kurang 40 tahun, beliau tutup usia pada tahun 1996 dan dikebumikan di Cipanas, Cianjur Jawa Barat.
Habib Mundzir merupakan sosok yang dimanja dan mendapat perhatian lebih dari ayahanda beliau dibandingkan dengan saudara lainnya. Namun pada kenyataannya, justru beliau yang mengalami putus sekolah. Beliau suka menghadiri Majelis Maulid Al Maghfur Al Arifbillah Al Habib Umar bin Hud Al Aththas dan Majelis Ta'lim Al'Alaamah Al-Habib Husein bin Abdullah bin Muhsin Al-Athos yang mengkaji kitab Fathul Baari.
Beliau adalah pecandu Rasulullah saw, pecinta al-Musthafa saw. Beliau senantiasa bershalawat 1000 kali disiang hari , 1000 kali dimalam hari. Berdzikir beribu-ribu kali dan melazimi puasa nabiyullah Daud As, mendirikan sholat malam berjam-jam lamanya. Namun satu hal yang membuat gundah hati beliau, yang tak lain tentang status beliau yang masih tuna karya dan itu sangat membuat kedua orangtua beliau sedih.
Rasa takut untuk mengecewakan kedua orangtua membuat beliau semakin larut dalam kegusaran, namun hal itulah yang terus memompa kerinduan terhadap sosok Rasulullah saw. Tak jarang pula dalam tangis Rasulullah hadir lewat alam mimpi untuk menghibur beliau. Hingga datang suatu mimpi dimana dalam mimpi itu beliau bersimpuh sambil memeluk lutut Rasulullah saw seraya berucap "Aku rindu kepadamu Yaa Rasulullah..jangan tinggalkan aku lagi, butakan kedua mataku asalkan aku bisa berjumpa denganmu...atau akhiri hidupku sekarang, aku tersiksa di dunia ini". Rasulullah pun menepuk bahu beliau sembaring berkata "Mundzir tenanglah, sebelum usiamu mencapai 40 tahun, engkau akan berjumpa denganku". Tak beberapa lama beliaupun terbangun dari mimpi.
Losmen
Setelah ayahanda beliau pensiun, ibunda beliau membagun sebuah losmen sederhana dengan 5 kamar di depan rumah untuk menopang nafkah keluarga. Al Habib Mundzirlah yang menjadi pelayan di losmen tersebut, mulai dari menjamu tamu, memasangkan seprei, menyapu kamar-kamar, membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan para tamu, baik berupa teh, kopi ataupun nasi goreng buatan ibunda beliau.
Sambil menunggu hadirnya para tamu, beliau mengisi malam-malam dengan mendirikan sholat malam atau duduk menagis termenung, bertafakkur dan berdzikir di atas kursi kecil dengan meja kotak layaknya pos satpam. Perjuangan beliau tak terhenti disitu saja, di siang hari di tengah sakit asma yang terus mencekik nafas, beliau masih berusaha berpuasa Daud.
Waktu pun berlalu, dedaunan mulai meranggas satu persatu meninggalkan rerantingan kering yang telah membatu. Begitu pula dengan kakak-kakak beliau yang telah bergelar sarjana satu demi satu. Terinspirasi oleh keadaan itu, niatan untuk menuntut ilmu mulai tumbuh subur bah jamur saat musim penghujan. Beliau wujudkan niatan tersebut dengan berguru di pesantren Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri Jakarta Selatan. Namun niat itu pupus hanya dengan kurun waktu dua bulan karna sakit asma. Kemudian beliau mengikuti kursus bahasa Arab LPBA Assalafy Jakarta Timur. Tak sampai disitu, beliau juga memperdalam lagi ilmu agama di Ma'had Al Khairat, Bekasi Timur. Puncaknya, beliau berangkat menuju Darul Mustafa, Tarim, Hadraumut, Yaman atas permintaan Al Habib Umar bin Hafidz. Di bawah irsyad sang maha guru beliau mendalami beberapa studi keilmuan seperti fiqh, tafsir, hadits, Tasawuf, metodologi dakwah dan lainnya selama lebih kurang empat tahun.
Permulaan dakwah
Empat tahun berlalu, kini di tahun 1998 beliau kembali ke Indonesia sebagai lulusan Darul Musthafa dan mulai menebar dakwah di Jakarta, dari rumah ke rumah. Mengajak umat untuk kembali dalam jalan yang lurus, mengajak mereka untuk mengenal dan mencintai Rasulullah saw. Menjadikan Rasulullah sebagai idola dan uswah ditiap lini kehidupan. Siang dan malam beliau gigih berdakwah. Tak jarang tertidur diluar rumah karna merasa sungkan untuk membangunkan pemilik rumah yang telah terlelap tidur bahkan beliau pernah tidur di emperan toko ketika mencari murid dan berdakwah. Belum lagi cemohan-cemohan yang menerpa wajah beliau, namun semua itu beliau tanggapi dengan kesabaran dan ketulusan.
Setelah berjalan kurang lebih enam bulan, beliau mulai membuka majelis setiap malam selasa. Hal itu beliau lakukan untuk mengikuti jejak Al Habib Umar bin Hafidz yang telah membuka Majelis mingguan setiap malam Selasa. Disamping itu, beliau juga memimpin Ma'had Assa'adah, yang telah diwakafkan oleh Al Habib Umar bin Hud Alattas di Cipayung selama setahun. Selebihnya, beliau tidak lagi meneruskan untuk memimpin ma'had tersebut dan lebih memilih untuk fokus berdakwah melalui majelis-majelis disekitar kota Jakarta.
Pasang surut dalam berdakwah
Pada awalnya, beliau menjadikan Fiqh dasar sebagai kajian utama di majlis malam Selasa miliknya, namun tampaknya hakl itu kurang diminati oleh para jamaah di majelis tersebut. Habib Munzir terus berfikir keras bagaimana masyarakat bisa hidup dalam kedamaian, meninggalkan kemungkaran dan mencintai sunnah Nabi saw. Akhirnya Habib Munzir merubah cara dan konten penyampaiannya, beliau tidak lagi membahas problematika Fiqih dengan segala kerumitannya, melainkan dengan mereframe ulang dakwah beliau dengan nasehat mulia dari Hadits-hadits Rasul saw dan ayat-ayat suci al-Qur'an tentang pembahasan amr ma'ruf nahi munkar dan beliau perindah penyampaian dakwah dengan balutan bahasa sastra yang dipadu dengan kelembutan dan arahan untuk tafakkur tentang penciptaan alam semesta, yang semua itu beliau arahkan agar masyarakat mampu menjadikan Rasul saw sebagai panutan hidup dalam segala hal. Alhasil, buah dari kesabaran beliau dalam berdakwah mulai nampak dengan semakin memadatnya jumlah jamaah sehingga beliau memindahkan majelis yang pada awalnya antar mushollah kini berganti menjadi majelis antar masjid secara bergantian. Kemudian beliau membuka majelis baru dihari lainnya, majelis malam selasa mulai ditetapkan di masjid al-Munawar. Saat itu jumlah jamaah masih seperempat masjid saja, beliaupun berkata "jamaah akan semakin banyak, nanti akan setengah masjid ini, lalu akan memenuhi masjid ini, lalu akan sampai keluar masjid insya Allah.." serentak para jamaah mengaminkan..perkataan beliau.
Akhir hayat beliau
Saat sedang berkumpul dan bercengkrama bersama keluarga di rumahnya, habib Munzir masuk kamar mandi sejak siang namun sampai sore hari beliau tak kunjung keluar. Kecemasan mulai melanda pihak keluarga, akhirnya didobraklah pintu kamar mandi dan didapati tubuh habib Munzir sudah tergeletak di lantai tidak sadarkan diri. Beliaupun dilarikan ke rumah sakit Cipto Mangunkusumo, namun satu jam kemudian para dokter menyatakan bahwa beliau telah tiada. Menurut penuturan kerabatnya, habib Munzir meninggal karena serangan jantung.
Habib Munzir dimakamkan di pemakaman umum Habib Kuncung di Kalibata, Jakarta pada hari Senin 16 September 2013 sekitar jam 13:00 WIB, setelah disholatkan di masjid Al-Munawwar Pancoran. Puluhan ribu umat muslim berbondong-bondong mengantarkan jenazah beliau dan menyaksikan prosesi pemakaman dengan takdim tak terkecuali guru beliau Al Habib Umar bin Hafidz beserta rombongan yang hadir saat itu.
Kini beliau telah pergi, tak ada lagi rangkaian kata indah dari beliau. Yang tersisa hanya kisah dan uswah beliau yang selalu terkenang di tiap benak kaum muslimin.
0 komentar:
Posting Komentar
Salamun 'alaik..
Bacalah basmalah sebelum memulai sesuatu